KH Noer Ali

KH Noer Ali
hero, pioneer of future about Islam

Selasa, 20 Oktober 2009

Ibnu Rushd dan Revolusi Eropa

Pengaruh Pemikiran Ibnu Rushd di Barat
Kehadiran filsafat Ibnu Rushd ternyata tidak cukup mempu menerangi gulita peradaban Islam. Rasionalitas filsafat Ibnu Rushd justru membawa angin segar bagi bagi dunia Eropa, bahkan mampu membebaskan Eropa dari cengkraman hegemoni gereja. Kehadiran filsafat Ibnu Rushd telah mengobarkan api revolusi yang menghendaki pemisahan sains dari agama. Ibnu Rushd, dengan kemampuannya mengomentari karya-karya Aristoteles, telah membangkitkan kembali budaya berpikir yang telah lama redup dalam peradaban tersebut. Kesadaran akan urgensi rasio dalam memahami ayat-ayat Tuhan mulai berkembang subur di Eropa. Kristen dan Yahudi mulai mengenal harmonisasi antara agama dengan filsafat. Muncullah dalam sejarah Barat teolog-teolog rasionalis yang menjadi simbol perlawanan terhadap gereja yang sangat hegemonik.

Dalam hal ini, figur Musa bin Maemun merupakan teolog Yahudi yang sangat berjasa bagi perkembangan pemikiran Ibnu Rushd di Eropa. Ia adalah salah satu murid Ibnu Rushd yang sangat terpengaruh oleh pemikiran-pemikirannya. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari pemikiran Musa bin Maemun dalam memahami hubungan antara agama dan filsafat, klasifikasi derajat intelektual manusia dalam berfilsafat, dan kesamaan tujuan antara kitabnya Dilâlah Khayrin dengan Fashl-u al-Maqâl. Inspirasi pemikiran Ibnu Rushd telah menjadikan Musa bin Maemun mampu menafsirkan permasalahan-permasalahan teologis dalam Yahudi, yang dianggap tidak sejalan dengan rasio manusia. Karya-karya Musa bin Maemun yang diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani merupakan faktor terpenting bagi perkembangan filsafat Islam di Eropa.

Namun, diakui atau tidak, kehidupan memang tidak selamanya berjalan mulus. Kalangan ortodoks Yahudi ternyata tidak begitu saja membiarkan kehadiran filsafat agung tersebut. Perlawanan para rahib Yahudi maupun para pendeta agama lainnya cukup menjadi bukti ketidakcocokan para agamawan terhadap filsafat. Filsafat dianggap sebagai pemikiran yang akan mendistorsi paham keagamaan. Sebagai antisipasi, cara satu-satunya adalah melakukan penindasan terhadap para filsuf. Tetapi tak dinyana, betapapun pelbagai penindasan dilakukan, penggalian terhadap filsafat Islam tidak mengalami penyusutan dalam tradisi Yahudi. Terjadilah perpindahan etnis Yahudi, dari Andalusia menuju Profinsia, dibarengi dengan penerjemahan keilmuan Islam secara besar-besaran. Dan atas jasa filsuf Yahudi bernama Lawn Afriqi, filsafat Ibnu Rushd mendapatkan tempat yang layak dalam pemikiran Yahudi. Peran Lawn Afriqi terhadap filsafat Ibnu Rushd sama halnya dengan peran Ibnu Rushd terhadap filsafat Aristoteles. Ia mampu menjadi kementator terbaik atas filsafat Ibnu Rushd.

Pada babak selanjutnya, pengaruh filsafat Ibnu Rushd mulai melemah. Perlawanan ortodoksi Yahudi membuat prestise pemikiran Ibnu Rushd mulai menyusut dan hampir punah. Ini tidak lepas dari andil Musa al-Masneu yang menerjemahkan karya al-Ghazali, Tahâfut-u al-Falâsifah. Kesadaran akan ketidak-ampuhan kekuasaan dan kekerasan dalam memberangus sebuah pemikiran semakin membuka lebar pintu masuk khazanah keilmuan Islam. Penerjemahan karya al-Ghazali terus digalakkan. Paparan al-Ghazali dalam kitab Maqâshid-u al-Falâsifah dianggap sebagai paparan filsafat yang mudah dipahami oleh publik. Dan pada akhirnya, penerjemahan tidak hanya dilakukan terhadap keilmuan yang berlawanan dengan filsafat, bahkan tasawuf, syariat, juga sastra, turut serta menjadi bidang garapan. Krisis intelektual yang menimpa Yahudi telah memaksanya menerjemahkan semua keilmuan Arab Islam.

Tidak hanya dalam Islam dan Yahudi filsafat Ibnu Rushd mendapat perlawanan. Thomas Aquinas, sebagai representasi dari kaum agamawan Kristen, merasa resah dengan kehadiran filsafat dalam Kristen. Gagasan tentang keabadian alam, ketidaktahuan Tuhan terhadap hal-hal partikular dalam alam semesta dan lain sebagainya, merupakan faktor pemicu perseteruan antara kaum agamawan dengan para filsuf. Para agamawan tidak terbiasa mendengarkan pernyataan-pernyataan semacam itu. Di Eropa, Thomas Aquinas merupakan penentang paling dahsyat terhadap pemikiran Ibnu Rushd di Eropa. Dalam perlawanannya, Thomas Aquinas secara langsung merujuk kepada filsafat Aristoteles. Menurutnya, Ibnu Rushd telah melakukan kesalahan. Kesalahan itu terletak pada ketidakkonsistenannya dalam memegang filsafat Aristoteles, sehingga berdampak sangat fatal bagi perkembangan filsafat Aristoteles itu sendiri. Ditambah lagi kesalahan para akademisi Arab ketika mereka menerjemahkan dan mengomentari filsafat Aristoteles.

Sepeninggal Thomas Aquinas, perlawanan kaum teolog Kristen terhadap pemikiran Ibnu Rushd bukannya melemah, bahkan semakin menguat dan terorganisir. Raymun Martin dengan menggunakan pemikiran al-Ghazali melakukan perlawanan terhadap penganut Averroisme —sebutan bagi filsafat Ibnu Rushd— di Eropa, yang kemudian diteruskan oleh generasi selanjutnya. Bahkan Dante, seorang pujangga berkebangsaan Italia, juga ikut ambil bagian dalam perlawanan tersebut. Dia, dalam rangka perlawanan itu, berusaha keras mendapatkan pengukuhan secara langsung dari Kongres Gereja dengan mengusulkan tiga hal. Pertama, membentuk tentara untuk menghancurkan Islam, kedua, mendirikan universitas bahasa Arab, dan ketiga, melarang umat Kristiani mempelajari filsafat Ibnu Rushd. Tapi sayang, usulan-usulan yang diajukannya tidak mendapatkan respon positif; ditolak oleh Kongres.

Perlawanan-perlawanan telah dilakukan di Eropa, namun pemikiran Ibnu Rushd tetap tidak punah. Para rahib Farniskan—sebagai fenomena baru dalam agama Kristen—telah menyelamatkan pemikiran Ibnu Rushd. Mereka tidak tunduk kepada perintah para Baba di Roma, bahkan menganggap para Baba Roma telah keluar dari orientasi awal ajaran Jesus. Terjadilah pertikaian luar biasa antara pendeta Farniskan dengan pendeta Dominikan. Di mata Farniskan perlawanan tersebut merupakan awal dari segala kebebasan berpikir di Eropa, yaitu kebebasan yang hanya bisa terwujud melalui pengembangan filsafat Arab Islam di Eropa.

Pengaruh Ibnu Rushd kembali menguat di Eropa, tepatnya setelah Lois XI melakukan pembaharuan terhadap keilmuan filsafat. Lois XI memerintahkan pembelajaran terhadap filsafat Aristoteles yang telah dikomentari oleh Ibnu Rushd kepada semua pelajar. Pemikiran Ibnu Rushd pada akhirnya mampu menunjukkan kekuatannya setelah teraniaya pada abad ke tiga belas. Pada abad ini, posisi filsafat Ibnu Rushd yang semula berada di bawah filsafat Ibnu Sina, terlihat mulai mengungguli, bahkan juga terhadap semua bentuk aliran pemikiran yang berkembang di Eropa, filsafat maupun agama. Hal ini kembali kepada beberapa faktor. Pertama, pengakuan para teolog dan filsuf mengenai signifikansi filsafat Aristoteles, yang dengan demikian memperlihatkan bahwa perbedaan antara mereka hanya pada tataran penafsiran. Kedua, keturunan Aria yang berkembang di Eropa mempunyai kelebihan tertentu dalam membidangi dunia filsafat. Ketiga, peran Fadrik II dalam memerangi agama di Eropa melalui filsafat, telah memotivasi penerjemahan pemikiran filsafat Islam di Eropa. Keempat, serangan Kristen terhadap Islam cenderung mengabaikan etika-etika kemanusian, di mana secara tidak langsung paradigma sopan-santun Shalahuddin al-Ayyubi telah memberikan pengaruh mendalam terhadap kaum Kristiani untuk mengetahui lebih jauh pemikiran Islam; paradigma yang berfungsi sebagai falsafah hidup yang tidak lagi memerlukan penjelasan.

Pada akhirnya filsafat Ibnu Rushd mampu mengalahkan otoritas institusi gereja, bahkan berupaya memposisikan diri sebagai pengganti dari institusi gereja itu sendiri. Ia telah berhasil menjadi sebuah pemikiran sakral yang tidak tersentuh oleh dosa apapun, bagaikan agama yang manganggap suci semua pemikirannya, dan siap memberangus setiap pemikiran yang berseberangan. Inilah yang membuat para gerejawan terpaksa melakukan perdamaian dengan aliran filsafat tersebut.

Pada abad ke enam belas, muncullah anggapan baru tentang keserasian filsafat Aristoteles dengan paham gereja, yaitu dibarengi dengan pernyataan Kardianal Bill Avinsi mengenai signifikansi filsafat Aristoteles dalam teologi Kristen, yang sekaligus menganggap Ibnu Rushd sebagai komentator terbaik filsafat Aristoteles. Karya-karya Ibnu Rushd tersebar begitu luas. Mereka mampelajari filsafat Aristoteles melalui ringkasan dan penjalasan Ibnu Rushd, sehingga mampu memunculkan dua aliran besar dalam memahami pemikiran Aristoteles; yaitu aliran yang berpegang pada penjelasan Ibnu Rushd dan aliran yang berpegang pada penjelasan Alexander. Hal ini memperlihatkan bahwa perbedaan metode dalam memahami filsafat Aristoteles tidak mengakibatkan perbedaan pada signifikansi pemikirannya dalam menghadapi problematika hidup. Kesatuan persepsi dalam dua aliran tersebut melahirkan kesadaran untuk mengacu secara langsung kepada pemikiran Aristoteles, tidak melalui perantara lain.

Oleh karenanya, pemikiran Ibnu Rushd mulai ditinggalkan dan digantikan dengan pemikiran asli Aristoteles, di mana pada akhirnya pemikiran Aristoteles juga mengalami kepunahan di saat filsafat modern mulai lahir di Eropa. Filsafat modern yang sangat menekankan sisi empirik telah berhasil mengeser filsafat Aristoteles yang hanya menekanakan sisi pemikiran dan perenungan belaka. Uniknya, keberhasilan melepaskan diri dari hegemoni pemikiran Aristoteles justru merupakan buah dari pemahaman terhadap filsafat Aristoteles secara benar. Rasionalitas yang didapatkan dari pemikiran Aristoteles telah membuat para pemikir Eropa memikirkan sebuah kontinuitas dari apa yang telah diletakkan Aristoteles. Pemikiran Aristoteles merupakan pemikiran yang pernah berjaya pada masanya. Maka, Aristoteles dengan komentator terpercayanya, Ibnu Rushd, merupakan instrumen terpenting dalam membangun filsafat modern; sebuah filsafat yang telah menghantarkan Barat menuju masa cemerlang.

1 komentar:

  1. wah tambah menarik tp bingung,maklum bukan ahlinya, filsafat hanya dipahami segelintir orang :)

    BalasHapus

salamlikum silahkan menuangkan ide dalam media ini. salam