KH Noer Ali

KH Noer Ali
hero, pioneer of future about Islam

Selasa, 20 Oktober 2009

Syiah, Iran dan Filsafat

Syiah dan Filsafat (1)
Satu kenyataan penting sekaitan dengan perjalanan filsafat dalam sejarah Islam adalah turut andilnya masalah kemazhaban tradisional Islam[1] dalam proses perkembangan pemikiran filsafat. Tanpa perlu menunjuk siapa filosof bermazhab Islam apa, yang jelas, “Philosophy persisted in the Shi’i world far more easily, and there has been a continuing tradition of respect for philosophy in Persia and other Shi’i community (filsafat jauh lebih mudah bertahan di dunia Syiah dan terdapat semacam tradisi menghargai filsafat yang masih terus berkelanjutan di Persia dan dalam komunitas Syiah lainnya).”[2]


Kalangan Muslim Suni cenderung meyakini bahwa pintu ijtihad sekarang ini telah tertutup rapat-rapat. Karenanya, mereka harus mencari jalan keluar dari pelbagai persoalan religius praktis maupun teoritis dengan merujuk pada rangkaian teks-teks kanonik (hadis atau riwayat) dan konsensus para ulama. Memang, kalangan Muslim Syiah juga menyerukan otoritas para imam dari keturunan Nabi Mohammad sekaligus dari sepupunya, Imam Ali bin Abi Thalib. Namun dalam hal ini, basis otoritas keagamaan di tengah kalangan Syiah jauh lebih cair dan berkelanjutan. Karenanya, mereka lebih bersikap reseptif terhadap filsafat ketimbang kalangan Sunah.

Di era kontemporer, diakui secara luas bahwa warisan filsafat Islam, khususnya mazhab Sadrian dan Sabzawarian—sebagai tonggak “sistem filsafat yang sangat Islami”—berkembang jauh lebih ekstensif di Iran—yang sejak beberapa abad silam, khususnya sejak kedatangan Syaikh Baha’i[3] ke Iran, telah menjadikan mazhab Syiah sebagai mazhab resmi di sana—ketimbang di wilayah lain yang mayoritas atau minoritas penduduknya bermazhab Syiah.

Parviz Morewedge dan Oliver Leaman menegaskan, “There is a continuing tradition of interest in illuminasionist and mystical thought, especially in Iran where the influence of Molla Sadra and al-Suhrawardi has remained strong (ketertarikan terhadap pemikiran iluminasi dan mistik masih menjadi tradisi yang berkelanjutan, khususnya di Iran, di mana pengaruh Molla Sadra dan Suhrawardi tetap kuat).”[4]

Tentu saja diyakini pula bahwa warisan filsafat Islam dalam dunia Syiah ini diapresiasi dalam beragam cara (bahkan sebagian pihak kembali pada mazhab filsafat sebelumnya, seperti Iluminasionisme, bahkan Peripatetisme, kendati arus utamanya tetap pada mazhab Hikmah—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya). Kendati demikian, dalam situasi kekinian, ragam cara yang diterapkan kalangan pemikir pasca-Sadrian di Iran khususnya kiranya dapat dimasukkan dalam dua kategori umum berdasarkan sumber dan corak apresiasinya; tradisional dan modern.

Apresiasi modern terhadap filsafat Sadrian berkembang di kalangan akademisi, atau setidaknya kalangan yang tumbuh dalam pendidikan atau khasanah pemikiran modern. Para figur yang paling menonjol di kalangan ini adalah Henry Corbin, Sayyed Hossein Nasr, dan Mehdi Ha’ri Yazdi. Sementara apresiasi tradisional lebih bertahan di kalangan pesantren atau hawzah ilmiah, khususnya kalangan yang mengenyam pendidikan tradisional keagamaan di Qom. Para tokoh terkemuka sekaligus pendahulunya adalah Ruhullah Khomaini, Mohammad Husein Thabathabai, dan Murtadha Muthahhari.

Keterikatan Syiah dengan filsafat dapat dilihat dari struktur keyakinannya. Akidah Syiah Imamiyah dapat dibagi dalam tiga metode, yang masing-masing melahirkan bangunan keyakinan berbeda dalam hal argumentasi dan pola urutan. Karenanya, setiap penganut Syiah memiliki rancangan akidah sendiri-sendiri sesuai metode pendekatan yang digunakannya. Ada yang membangun akidah dengan metode teologi atau kalam, ada yang dengan metode filsafat wahdah al-wujud atau katsrah al-wujud, bahkan ada pula yang membangun akidah dengan irfan.

Akidah dengan fondasi teologi telah ditetapkan sebagai terdiri atas tiga prinsip umum; ketuhanan, kenabian, dan kebangkitan, serta dua prinisip khusus, yaitu keimaman (imamah) dan keadilan Tuhan. Bahkan sebagian ulama mutakhir menambahkan beberapa tema dalam daftar prinsip lebih khusus lagi, seperti wilayah al-faqih (wilayatul faqih al-muthlaqah).

Sedangkan akidah yang didasarkan pada filsafat (ontologi), terutama ontologi wahdah al-wujud, tidak terikat pada pola susunan prinsip keyakinan sebagaimana dalam kalam (teologi). Akidah falsafi lebih ringkas, meski tidak lebih mudah untuk dianut. Pembentukan akidah dengan fondasi filsafat dimulai dengan mendefiniskan terma wujud, mengeksplorasi hukum-hukum wujud, serta melakukan distingsi terhadap terma-terma yang berlawanan dengan wujud. Biasanya, para penganut akidah falsafi, yang umumya merupakan pelajar hawzah tingkat menengah atau kalangan akademis, mula-mula membagi dua pengertian, ‘ada’ dan ‘tiada’. Setelah itu, mereka akan membedakan ‘ada’ sebagai pengertian dan ‘ada’ sebagai realitas itu sendiri (fi nafs al-amr). Lalu mereka membagi ‘ada’ menjadi dua kategori; yang beresensi dan yang tidak beresensi. Skema ini diakhiri dengan mengidentifikasi berbagai kriteria masing-masing dan memastikan pilihan serta kesimpulan tentang adanya sesuatu yang tidak beresensi, tidak ter-apakan, tidak terdiri dari substansi (subjek) dan aksiden (predikat), tidak tunduk pada kaidah persepsi yang memposisikan setiap sesuatu sebagai kategori dan terma, baik partikular maupun universal.

Langkah kedua adalah menimbang-nimbang pendapat ashalah al-wujud dan ashalah al-mahiyah dengan mencari titik lemah semua pendapat yang pernah dikemukakan kedua kelompok filosof. Langkah ketiga adalah membandingkan pendapat tentang wujud sebagai realitas tunggal dan wujud sebagai realitas plural. Langkah berikutnya adalah mengurai sifat-sifat maujud, mulai dari yang abstrak murni (al-mujarrad al-mahdh, al-mujud al-asyfaf), lalu yang semi abstrak atau interval (al-mitsali, al-barzakhi, an-nafsani), sampai yang konkret (al-jism, raga, body) dengan dua elemen dasarnya, materia (al-quwwah, hyle) dan forma (aktus, ash-shurah). Inilah gambaran singkat tentang langkah-langkah umum dalam ontologi umum atau al-ilahiyat bi al-ma’na al-am (teologi umum). Setelah menemukan maujud beresensi dan yang tidak beresensi, mulailah mereka memasuki tema ketuhanan (al-Ilahiyat bi al-ma’na al-akhash, teologi khusus) dan membanding-bandingkan semua pendapat dan aliran antara ketunggalan atau kebinenkaan zat dan sifat, begitulah seterusnya.

Akidah dengan fondasi irfan adalah sejenis akidah ekslusif, privat, sulit, rumit, dan penuh tantangan. Peminatnya amatlah sedikit, dan yang berhasil membentuk akidah dengan irfan lebih sedikit lagi. Sebelum membentuk akidah dengan irfan, para peminat mesti mempelajari pokok-pokok irfan nazhari (irfan konseptual) dan pokok-pokok irfan ‘amali (praktikal). Tidak semua yang memahami irfan nazhari berhasil menjalani irfan ‘amali. Allamah Thabathabai dan Imam Khomaini adalah dua contoh manusia yang telah berhasil membentuk akidah dengan kalam, filsafat, irfan nazhari, sekaligus menduduki strata teringgi dalam irfan ‘amali. Mazhab irfan dan kalam pada abad ketujuh juga mencapai masa keemasan Pada zaman inilah keempat aliran pemikiran tersebut terintegrasi dalam akidah. Menurut Mottahedeh, inilah satu fenomena penting yang meratakan jalan bagi kebangkitan Safawi dengan warna khas Syiah. dari berbagai sumber.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

salamlikum silahkan menuangkan ide dalam media ini. salam