KH Noer Ali

KH Noer Ali
hero, pioneer of future about Islam

Selasa, 20 Oktober 2009

Mulla Sadra

Pendahuluan
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat Peripatetik, filsafat Iluminasi, irfan teoritis dan teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Sadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut Hikmah Muta'aliyah.
Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu juga berhasil mengkontruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tak mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut, disamping itu aliran baru ini juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.
Biografi Mulla Sadra
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahoya al-Qawami al-Syirozi, yang bergelar “Sadr al-Din” dan lebih popular dengan sebutan Mulla Sadra arau Sadr al-muta`alihin, dan di kalangan murid-murid serta pengikutnya disebut “Akhund”. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979H/1571M dan meninggal pada tahun 1050/1640M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazi, salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara social politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.
Pada sumber-sumber tradisional, tahun kelahirannya tidak ditetapkan, dan baru diketahui kemudian ketikan `Alamah Sayyid Muhammad Hussein Tabataba`i melakukan kereksi terhadap edisi baru al-Hikmah al-Muta`aliyah dan mempersiapkan penerbitannya. Pada catatan pinggir yang ditulis oleh pengarangnya sendiri, ketika ia membicarakan tentang kesatuan antara subyek yang berpikir dan obyek pemikirannya (dalam istilah filosofisnya dikenal sebagai ittihad al-`aqil bi al-ma`qub), ditemukan kalimat sebagai berikut: “Aku memperoleh inspirasi ini pada saat matahari terbit di hari Jum`at, tanggal 7 Jumadi al-Ula tahun 1037 (bertepatan dengan 14 januari 1628), ketika usiaku telah mencapai 58 tahun”.
AL-HIKMAH AL-MUTA`ALIYAH SEBAGAI ALIRAN FILSAFAT MULLA SADRA

Salah satu perubahan mendasar dan monumental yang dapat kita saksikan dalam deretan argumentasi-argumentasi filsafat tentang penegasan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan terdapat pada burhan shiddiqin (argument of the righteous). Burhan ini, sejak dicetuskan di zaman Al-Farabi dan Ibnu Sina hingga sampai ke tangan Mulla Sadra mengalami dua perubahan penting dan mendasar, dua perubahan itu antara lain: pertama, masuknya unsur teori kehakikian wujud (ashâlah al-wujud) dari irfan teoritis ke dalam burhan shiddiqin, kedua, berpengaruhnya konsep gradasi wujud (tasykik al-wujud) ke dalam burhan shiddiqin.
Mulla Sadra mengadopsi dua konsep tersebut di atas dan menggabungkan dua konsep tersebut sehingga melahirkan dan menghasilkan satu bentuk argumentasi filosofis yang baru, logis, kuat dan ringkas dalam menegaskan eksistensi dan sifat-sifat Tuhan. Dengan demikian, terjadi perubahan yang sangat prinsipil dan penting khususnya berkaitan dengan tolok ukur dan defenisi burhan shiddiqin itu sendiri. Burhan shiddiqin, hingga abab sekarang ini, didefenisikan sebagai suatu burhan dimana dalam penegaskan eksistensi Tuhan tidak menggunakan perantara selain wujud Tuhan sebagai bagian dari kontruksi argumentasinya. Berdasarkan defenisi tersebut, burhan shiddiqin bisa dianalogikan dengan ungkapkan: Wujud matahari tanda dan dalil bagi matahari itu sendiri, dan wujud Tuhan dalil bagi wujud-Nya sendiri.

Dasar-Dasar Burhan Shiddiqin dalam Filsafat Mulla Sadra
Burhan shiddiqin dalam Hikmah Muta'aliyah berpijak pada beberapa prinsip, antara lain:
a. Kehakikian wujud (Ashâlah al-Wujud)
Berdasarkan prinsip tersebut, hakikat wujud adalah secara esensial merupakan realitas hakiki dari komprehensi dan pemahaman atas wujud dan kuiditas hanyalah sebuah komprehensi yang menceritakan tentang batasan dari hakikat wujud dan secara aksiden dipredikasikan atas hakikat wujud. Oleh karena itu, walaupun pikiran kita ketika berhadapan dengan realitas segala sesuatu, pada tingkatan pertama, yang dicerap dan diindera adalah kuiditas mereka (mahiyah), tetapi sebenarnya yang dicerap secara hakiki adalah wujud segala sesuatu itu dimana di alam luar merupakan suatu kenyataan yang benar-benar berwujud.
Mulla Sadra mengambil prinsip ini dari irfan teoritis dan kemudian menjabarkannya secara filosofis serta menjadikannya sebagai landasan dan pondasi bagi sistem filsafat yang dikontruksinya.


b. Gradasi Wujud (Tasykik al-Wujud)
Dalam perspektif Hikmah Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas yang tunggal dimana dalam kesatuan dan ketunggalannya memiliki banyak tingkatan dan gradasi; gagasan ini berlawanan dengan pemikiran kaum peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud itu secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tak memiliki unsur kesamaan serta yang ada di alam adalah kejamakan murni; gagasan tersebut berbeda dengan konsep para sufi dan 'arif tentang ketunggalan dan kesatuan wujud yang bersifat individual (wahdah al-syakhsh al-wujud) dan menolak secara ekstrim adanya kejamakan wujud; gagasan itu juga bertentangan dengan pemikiran Muhaqqiq Dawwani tentang kesatuan wujud dan kejamakan maujud.

c. Prinsip Kausalitas
Dalam pandangan Mulla Sadra, akibat (ma'lul) adalah keterikatan dan kebergantungan kepada sebabnya itu sendiri ('illat) dan sedikitpun tak memiliki kemandirian. Kebergantungan wujud itulah, dengan istilah al-imkan al-faqr, yang melahirkan kebutuhan akibat kepada sebab.
Berdasarkan prinsip kehakikian wujud, tafsiran atas teori kausalitas tersebut bisa dengan mudah diterima, karena jika realitas segala sesuatu itu didasari oleh wujud dan bukan kuiditas maka kebutuhan mereka kepada sebab juga bersifat eksistensial dan hakiki. Maka dari itu, Mulla Sadra menolak watak kebergantungan kuiditas sebagai tolok ukur kebutuhan kepada sebab.

KESIMPULAN
Mulla Sadrā memandang akal dalam dua hal penting ; pertama, Seluruh asal dari kebenaran wahyu dan kenabian serta agama berasal dari akal dan merupakan jembatan untuk sampai pada syariat. Kedua, akal manusia meskipun derajatnya lebih rendah dari wahyu dan agama dalam membimbing manusia akan tetapi kejelasannya dan benderangnya tidak kurang dari wahyu. Meskipun demikian tidak sedikitpun terjadi pertentangan antara akal dan wahyu. Akal yang sehat dengan Wahyu yang benar dalam pandangan Mulla Sadrā, keduanya adalah satu warna.

Bagi Mulla Sadrā akal dan wahyu merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu yaitu Ruh Kesucian (Ruh al-Quds) atau Intelek Aktif (Aql Fa’āl) dan bagi Mulla Sadrā tidak terbayangkan diantara kedua hal tersebut terjadi pertentangan. Karenanya Akal berfungsi sebagai penopang rasional bagi penyaksian ruhaniah (Musyāhādah) dan penyaksian ruhaniah merupakan puncak tertinggi dari upaya menyerap pengetahuan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang telah dikemukakan Mulla Sadrā mengambil tiga sumber mendasar dan melakukan harmonisasi diantara ketiga hal tersebut dan menjadikan warna filsafat tersendiri yang jauh lebih sempurna dari pemikiran yang berkembang sebelumnya. Karenanya ada banyak tokoh yang memandang Mulla Sadrā sebagai Filosof Peripatetik, Teosof Iluminasi sekaligus Teolog Islami. dari berbagai sumber.

Daftar Pustaka
Nur Syaifun, Filsafat Wujud Mulla Sadra, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Ayatullah Taqi Mishbah Yazdi, Omuzesy falsafe (pengajaran filsafat), jilid 1.

www.artikel4wisdom.com, makalah ini diakses pada 5 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

salamlikum silahkan menuangkan ide dalam media ini. salam